Mengenal Tentang Mie Instan Sorgum

Negeri kaya sumber daya, tapi….

Terletak di jalur khatulistiwa membuat Indonesia memiliki keragaman sumber daya hayati yang melimpah. Menurut laman Indonesia.go.id per September 2021, Indonesia berada di posisi tiga besar negara dengan keanekaragaman hayati terkaya bersama Brazil dan Zaire.

Namun, kekayaan tersebut tidak serta merta membuat Indonesia mandiri dalam masalah pangan. Sejak Januari – Juni 2021, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia melakukan impor bahan pangan hingga US$ 6.13 miliar atau setara Rp 88.21 triliun. Angka yang terbilang sangat besar dan menyumbang belanja devisa yang tidak sedikit.

Komoditas yang diimpor meliputi: gula, daging, susu, kopi, teh, hingga cabai, bawang putih, lada, dan kedelai. Selain itu, jagung, gandum, kentang, kelapa, sawit, hingga berbagai jenis rempah seperti: cengkeh, kakao, tembakau, dan ubi kayu juga diimpor oleh Indonesia.

Ini tentu merupakan ironi bagi Indonesia sebagai pemilik keanekaragaman hayati yang sangat besar.

Tingkat konsumsi mie instan

Salah satu penyebab Indonesia sangat tergantung pada produk impor adalah inovasi pemanfaatan bahan pangan lokal yang masih sangat terbatas.

Misalnya, untuk produksi mie instan, Indonesia harus impor gandum rata-rata di atas US$2.5 miliar atau setara Rp 35.67 triliun setiap tahunnya. Hal ini tidak terlepas dari tingkat konsumsi mie instan yang cukup tinggi.

Berdasarkan data Statista, konsumsi mie instan di Indonesia mencapai 12.6 miliar porsi pada tahun 2020. Jumlah itu meningkat 120 juta porsi atau 0.96% dari tahun sebelumnya. Hal ini membuat Indonesia berada pada peringkat kedua dunia setelah Tiongkok yang mencapai 46.3 miliar porsi pada tahun lalu.

Mie instan tergolong makanan yang disukai semua kalangan; dari yang muda hingga tua, kelas ekonomi rendah hingga tinggi. Selain karena alasan kepraktisan, inovasi berkelanjutan dalam varian serta cara penyajian mie instan membuat makanan ini semakin populer.

Terus harus gimana?

Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, kegemaran masyarakat Indonesia akan mie instan membuat impor gandum selalu naik dan terus membebani neraca perdagangan.

Indonesia, menurut Suhariyanto, membutuhkan diversifikasi pangan dan sudah harus memiliki rantai produksi bahan baku mie instan yang dapat menjadi substitusi gandum.

Bila hal ini berhasil dilakukan, Indonesia akan menghemat devisa yang cukup besar, sebagaimana data importasi gandum yang disajikan di slide sebelum ini.