Sebuah cerita tentang investasi atau spekulasi

Kadang saya menerima direct message orang yang bertanya tentang saham. Mereka bertanya saham apa yang bagus untuk investasi jangka panjang? Banyaknya yang sering terjadi, orang membeli saham yang sedang mengalami momentum naik, lalu kemudian nyangkut sahamnya terkoreksi. Kemudian mencari pembenaran untuk investasi jangka panjang. Ini masalah psikologis klasik, “denial”.

Dalam berinvestasi atau trading saham sebenarnya bebas-bebas saja melakukan jual beli dengan gaya apapun. Saya menemukan banyak orang dengan cara yang berbeda-beda, namun tetap bisa membukukan imbal hasil yang baik di saham. Namun apapun metodenya, yang penting untuk dipahami adalah mampu membedakan mana yang sedang berspekulasi atau berinvestasi.

Menjadi seorang praktisi di pasar modal, baik menjadi Head of Research di sekuritas terbesar atau menjadi Fund Manager dengan dana kelolaan triliunan, bukan berarti membuat mereka dapat memahami ke mana saham akan bergerak. Yang dapat mereka lakukan dalam berinvestasi saham adalah menganalisa prospek pertumbuhan kinerja emiten, dan melihat harga wajarnya saat ini. Harapannya harga saham bertumbuh seiring pertumbuhan kinerja.

Investor profesional sudah pasti memahami cara membuat analisis nilai wajar dari suatu emiten. Tapi nilai wajar itu bisa berbeda-beda di setiap mata investor. Dan ketika suatu emiten sudah IPO, maka umumnya valuasi suatu emiten sudah dihargai jauh lebih tinggi dari sebelum IPO.

Misalnya saja kita ketahui Price/Earning (P/E) IHSG biasa berada di rentang 15 18x, sebagai – rata-rata valuasi emiten di IHSG. Bila kita balik menjadi Earning/Price maka kita ketahui Earning yield dari emiten tersebut, seperti ketika berbicara yield pada obligasi atau properti.

Pada IHSG artinya kita ketahui earning yield hanya berkisar 56%. Imbal hasil yang kecil. Bisnis apa yang menarik dengan return setahun hanya 5% ?

Sudah menjadi rahasia umum, IPO merupakan sarana pemilik perusahaan untuk menaikkan valuasi perusahaan setinggi-tingginya. Artinya nilai emiten jauh lebih mahal!!

Karena sudah mahal secara absolut, oleh karena itu digunakanlah relative valuation sebagai metode untuk mengukur nilai wajar lainnya. Dibandingkan dengan emiten sejenis valuasinya, misalnya ev/ebitda, p/e, p/b, p/s.

Tapi relatif itu yaa relatif, kadang bisa murah kadang bisa mahal secara relatif, mengikuti mood pasar yang dinamis.

Oleh karena itu berinvestasi di saham dikatakan sudah berisiko, karena umumnya secara nilai absolut ya sebenarnya sudah mahal.